Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Pernikahan adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku berarti bukan dari golonganku."
Allah Subhana Wata'ala berfirman:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang." (QS. Ar Ruum: 21)
Pernikahan merupakan sunnatullah yang di dalamnya terdapat hikmah besar untuk kelangsungan kehidupan manusia. Sunnatullah inilah yang harus terus diperjuangkan dan dipertahankan hingga tercipta keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Sakinah, dalam artian tenang dan tentram, yaitu harus ada saling percaya, dan memahami antar suami istri. Mawaddah, Mahabbah atau cinta, yakin harus ada saling mencintai antar pasangan. Rahmah, yaitu ridho Allah Subhana Wata'ala, dengan mendapatkan keturunan yang thoyyib.
Banyak sekali macam-macam pernikahan yang kini terjadi, terutama di Indonesia. Lalu apa pandangan syariat terhadap pernikahan-pernikahan tersebut. Dalam coretan ini akan disebutkan hal-hal tersebut.
Pernikahan antar Saudara Dekat
Pernikahan merupakan sunnatullah yang tidak selayaknya ditinggalkan oleh setiap umat Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar ikatan, namun di dalamnya terdapat hak-hak yang akan dipertanggung jawabkan nantinya dihadapan Allah. Maka dari itu banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum menuju ke jenjang pernikahan, diantaranya adalah, selektif dalam memilih pasangan. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan untuk memilih pasangan bukan dari kerabat dekat. Sedangkan batasan saudara terdekat yang boleh dinikahi adalah anak paman atau bibi, baik dari pihak ayah atau ibu.
Memang, dalam kacamata warga Negara Indonesia pernikahan dengan saudara dekat itu dianggap tabu, apalagi bagi siapa yang kuat memegang adat jawa. Namun dalam syariat Islam pernikahan dengan saudara dekat ini tidak dilarang, namun disunahkan untuk memilih pasangan dari kerabat jauh. Mengapa demikian?! Tentunya karena adanya hikmah di balik semua itu, diantaranya:
1.Pada dasarnya, perikahan itu disyariatkan dengan tujuan untuk merekatkan ukhuwah, dan memperbanyak ikatan persaudaraan antar sesama, karena pernikahan itu secara otomatis akan mengikatkan tali kekeluargaan antara keluarga calon pengantin putra dan putri, dan tentunya setiap keduanya pasti memiliki sanak saudara, dan jika pernikahan itu terjalin maka bertambahlah jumlah anggota keluarga dan sanak saudara. Firman Allah Subhana Wata'ala dalam surat Al hujurat ayat 13:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. "
Secara rasio, Kerabat dekat itu sudah ada ikatanya, maka untuk apa mengikatnya lagi?! maka lewat ayat ini kita memperbanyak ikatan ukhuwah dan persaudaraan dengan yang lainnya, agar tercipta umat yang satu.
2.Pernikahan dengan saudara dekat itu memberikan efek negatif dalam sisi biologis, dan kesehatan. Seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya, hal tersebut akan melemahkan syahwat, dan menjadikan anak tumbuh dengan badan yang kurus.
Disisi lain, pernikahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan Sayyidah Zaenab, yang mana beliau adalah putri dari bibinya Nabi sendiri (atau sepupu Nabi). Hal ini terjadi sebagi penjelasan kepada umat Islam bahwa menikahi anak bibi atau paman adalah boleh dan tidak dilarang, karena sepupu tidak termasuk dalam catatan mahram.
Pernikahan di bawah umur
Pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini, dalam syariat Islam bukan hal yang dilarang, karena tidak ada persyaratan baligh dalam pernikahan. Kecuali bagi seorang janda yang belum baligh, maka wali janda tersebut tidak boleh menikahkannya kecuali jika telah baligh, karena keharusan adanya izin dari si janda tersebut, jika akan menikah. Hanya dalam undang-undang pernikahan di Indonesia lah yang memberikan batas awal diperbolehkannya menikah, yaitu: laki-laki 19 th dan perempuan 16 th. Tentu saja, hal ini dilakukan untuk meminimalis angka perceraian di Indonesia.
Pernikahan dini itu sulit, apalagi jika kedua mempelai belum memiliki persiapan mental yang matang. Namun, ketika ada mashlahah bagi kedua belah pihak dari pernikahan dini tersebut, maka pernikahan ini sangat dianjurkan, seperti: adanya kerusakan moral, maraknya pergaulan bebas, tidak adanya seseorang yang menjaga wanita tersebut, dsb. Tapi, dengan catatan orang tua harus terus mengawasi dan membimbing kedua mempelai agar pernikahannya tetap utuh dan terjaga.
Memang, ketika melihat hak dan tanggung jawab yang dipikul dalam sebuah pernikahan, maka alangkah baiknya jika menikah dalam usia yang matang, dengan persiapan yang matang, dan memiliki mental yang kuat, agar mampu menghadapi badai kehidupan yang nantinya akan tercipta keluarga yang baik, abadi, sakinah, mawadah wa rahmah.
Dari uraian di atas, pernikahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu 'Anha bukanlah hal yang perlu diperdebatkan, meskipun sedikit tabu jika seseorang yang berusia tua menikah dengan seseorang yang masih belia. Syubhat dan tuduhan yang dilemparkan dari musuh-musuh Islam adalah hal yang tidak mendasar sama sekali, dan jawaban dari syubhat tersebut adalah:
Menikahkan seorang wanita dalam usia dini merupakan adat dan kebiasaan orang arab Quraisy, dan pada saat itu Aisyah yang masih kecil sebelumnya telah dilamar oleh seorang kafir Quraisy, Mut'am bin Adiy. Karena buruk perilaku orang tersebut Abu Bakar, sebagai wali Aisyah, lebih memilih Rasulullah saw yang berperangai sangat mulia. Kalaulah Aisyah Radhiyallahu 'Anha tidak menikah dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam saat itu, pastinya beliau dinikahkan dengan orang lain di usia yang dini pula.
Pernikahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah Subhana wata'ala, yang di dalamnya terdapat amru nubuwwah, dan bukan atas kehendak dan kemauan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sendiri, disebutkan dalam sebuah riwayat:
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha: aku telah memimpikanmu dua kali, aku melihat malaikat membawa tandu yg tertutup sutra, dan malaikat pun berkata: ini istrimu wahai Rasulullah, kemudian aku buka, dan itu kamu wahai Aisyah, dan Asiyah pun berkata, kalaulah itu dari Allah maka aku Ridho."
Allah Subhana Wata'ala telah mengirim Aisyah ra sebagai pendamping Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan harapan bahwa, nantinya ada seseorang yang akan menggambarkan kepada umat tentang bagaiman kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di dalam rumah. Tentunya, karena disetiap gerak-gerik beliau adalah wahyu, dan setiap hembusan nafas beliau adalah uswah dan suri tauladan untuk seluruh umat manusia.
Pernikahan Tanpa Wali
Menurut madzhab Syafi'i, keberadaan wali saat ijab qobul merupakan rukun dari sahnya sebuah pernikahan, jadi tanpa wali, penikahan itu tidak akan sah. Dalam artian lain, seorang wanita tidak boleh dan tidak sah menikahkan dirinya sendiri. Maksud dari wali di sini adalah wali untuk pengantin perempuan. Sedangkan wali tersebut adalah sebagai berikut:
1.Ayah
2.Kakek
3.Saudara kandung laki-laki
4.Saudara seayah
5.Anak laki-laki dari saudara sekandung
6.Anak laki-laki dari saudara seayah
7.Paman kandung
8.Paman seayah
9.Anak laki-laki dari paman kandung
10.Anak laki-laki dari paman seayah
11.Hakim atau penghulu
Hak wali di atas dalam menikahkan seorang wanita harus sesuai dengan urutan yang tertera, jika ada yang pertama tidak boleh masuk yang kedua, begitu juga seterusnya.
Saat ini banyak ditemukan bahwa seorang wanita menikah tanpa ada persetujuan dari walinya, karena dia telah memiliki calon yang sekufu atau sederajat. Dalam masalah ini, pernikahan wanita tersebut tanpa izin dari wali atau bahkan tidak ada wali ketika ijab qobul, maka pernikahan tersebut adalah batal. Sedangkan calonnya yang kufu', sebenarnya cukup membuat seorang wali wajib menikahkannya dengan pilihannya tersebut, kecuali jika sang wali memiliki calon lain yang kufu' juga atau lebih kufu', maka boleh sang wali menolak pernikahan tersebut, dan memaksa wanita tersebut untuk menikah dengan pilihan walinya, karena wali memiliki hak dalam hal tersebut. Namun, alangkah baiknya jika sang wali bermusyawarah dengan wanita tersebut dengan baik, dan sama-sama melihat kemaslahatan dalam sebuah pernikahan, agar tidak muncul kekecewaan di kemudian hari.
Nikah Paksa
Nikah paksa yang sering terjadi, menurut pandangan Islam itu boleh, namun harus memenuhi syarat-syaratnya, diantaranya:
-Wali wanita tersebut adalah ayahnya atau kakeknya (bukan yang lainnya)
-Harus dengan orang yang sekufu (sederajat)
-Calon suami harus mampu memberikan mahar yang sesuai
-Tidak ada permusuhan yang terlihat antara kedua mempelai, dan juga wali mereka
Namun, demi kemaslahatan bersama, maka alangkah baiknya jika adanya keterbukaan, dan komunikasi dengan semuanya, karena ketika awal dari pernikahannya saja kurang baik, maka bagaimana seterusnya. Bahkan untuk mempersempit lubang perceraian diantara keduanya.
Nikah Sirri
Nikah sirri, menurut Imam Syafi'i adalah penikahan tanpa dihadiri wali atau dua saksi, dan tentunya menurut definisi ini, nikah tersebut tidak sah dan batal.
Namun, pernikahan sirri yang sering terjadi di Indonesia adalah pernikahan syar'i, yang telah memenuhi syarat dan rukunnya namun tidak tercatat dalam buku sipil atau KUA. Dalam masalah ini, menurut pandangan syariat nikah ini adalah sah, akan tetapi demi melihat kepada kemaslahatan dalam berwarga Negara maka seharusnya pernikahan tersebut dicatat dalam buku sipil, untuk menjaga wanita dari tindakan-tindakan kriminal yang mungking terjadi, dan juga untuk membela hak-hak wanita tersebut.
Nikah Mut'ah (Kawin Kontrak)
Nikah Mut'ah atau biasa disebut dengan nikah kontrak, adalah pernikahan dalam masa dan jangka waktu tertentu, dan berakhir dengan berakhirnya masa yang telah disepakati ketika akad nikah, dengan tujuan tertentu.
Pernikahan ini berbeda jauh dengan yang diperbolehkan saat ini, banyak hak-hak dan kewajiban yang seharusnya dipenuhi, menjadi terhapus. Seperti ketidak adanya kewajiban nafaqah, tidak ada penetapan nasab bagi anaknya, dan juga tidak menjadikan istri dan anak keturunannya nanti sebagai ahli waris, kecuali, jika disebutkan dalam syarat pernikahan tersebut, sedangkan kemahraman mushoharoh (keluarga besan) itu tetap adanya.
Sejarah Nikah Mut'ah
Pada awalnya nikah mut'ah itu dilarang, namun pada saat perang khoibar terjadi, dan pada saat itu para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam harus pergi ke medan perang, dan tidak ada istri-istri mereka yang akan melayani mereka selama di medan perang, kemudian para sahabat mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang hal tersebut, dan meminta untuk memotong syahwat mereka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang hal tersebut dan membolehkan nikah mut'ah, karena adanya syiddatul hajah.Namun, pada tahun itu juga pernikahan ini diharamkan kembali. Seperti yang disebutkan dalam hadist nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang nikah mut'ah pada tahun Khoibar" (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian pada saat Fathul Makkah, pernikahan mut'ah ini dibolehkan kembali, selama 3 hari saja, dan kemudian diharamkan kembali. Namun, pengharaman yang kedua ini tidak banyak diketahui oleh para sahabat, dan pada saat haji wada' Rasulullah saw mengumumkan kepada seluruh umat Islam bahwa nikah mut'ah itu haram sampai hari kiamat. Dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Saya telah mengizinkan bagimu nikah mut'ah, dan Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum Nikah Mut'ah
Madzahib arba'ah sepakat bahwa nikah mut'ah merupakan nikah yang fasad atau rusak dan haram hukumnya, meskipun ada ridho dan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dan terjadinya perbedaan pendapat antara ahlu sunnah dan syi'ah tentang pengharaman nikah ini adalah karena adanya rukhshoh, diperbolehkannya nikah ini dalam beberapa waktu yang kemudian hukum tersebut dinashk (dihapus) dengan diharamkannya nikah tersebut. Kaum Syiah berpendapat bahwa tidak ada nashk (penghapusan) hukum di sana (padahal telah terjadi beberapa kali pe-nashk-an hukum tersebut), jadi nikah mutah ini tetap boleh dalam pandangan kaum Syiah.
Hikmah Diperbolehkannya Pernikahan Mut'ah pada Perang Khaibar
1.Saddu-d daro'i (menghindari kerusakan)
Memotong syahwat yang pernah sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam minta ketika perang Khoibar mengakibatkan terputusnya regenerasi islami. Padahal generasi penerus itu sangatlah penting sebagai benteng penerus agama Islam.
2.Menghindari zina
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan mut'ah pada saat perang Khaibar tidak lain agar para sahabat yang ikut berperang pada saat itu, tidak mendekat atau bahkan masuk dalam lingkaran zina, karena tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya. Maka dari itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan nikah mut'ah, tentunya karena adanya besar maslahah di dalamnya.
Hikmah Dilarangnya Pernikahan Mut'ah
Pernikahan kontrak sebenarnya merupakan bentuk pendzoliman terhadap kaum wanita khususnya, bagaimana tidaK?! Karena dalam pernikahan tersebut wanita hanya dijadikan alat pemuas hawa nafsu saja, sedangkan hak-hak yg seharusnya didapatkan wanita dalam pernikahan tersebut tidak didapatkannya (seperti nafaqoh, penetapan nasab, hak waris, dsb). Bahkan, bisa jadi pernikahan ini malah menyakitkan perasaan seorang wanita yang begitu lembut. Padahal pernikahan itu berdiri bukan hanya dari dan untuk kemaslahatan salah satu dari mempelai, tapi untuk keduanya, atau bahkan untuk seluruh keluarganya.
Disisi lain, tujuan pernikahan yang seharusnya 'ala dawam atau untuk selamanya, tidak tercapai, bahkan pernikahan hanya dijadikan ajang permainan saja. Lihat, Apa jadinya jika pernikahan itu hanya untuk main-main saja?! Dan jika ini terjadi bisa jadi hilang qimah (harga) dari sebuah pernikahan, bahkan pernikahan bukan hal yang sakral lagi.
Penutup
Pernikahan yang Allah syariatkan untuk umat manusia merupakan hal besar, yang menyimpan hikmah besar di dalamnya, hanya terkadang hal tersebut kurang dimengerti oleh banyak orang, sehingga menganggap remeh sebuah pernikahan.
Wallahu a'lam bissowab, semoga bermanfaat!
Sumber : http://www.himmahfm.com
النكاح سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني
"Pernikahan adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku berarti bukan dari golonganku."
Allah Subhana Wata'ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang." (QS. Ar Ruum: 21)
Pernikahan merupakan sunnatullah yang di dalamnya terdapat hikmah besar untuk kelangsungan kehidupan manusia. Sunnatullah inilah yang harus terus diperjuangkan dan dipertahankan hingga tercipta keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah. Sakinah, dalam artian tenang dan tentram, yaitu harus ada saling percaya, dan memahami antar suami istri. Mawaddah, Mahabbah atau cinta, yakin harus ada saling mencintai antar pasangan. Rahmah, yaitu ridho Allah Subhana Wata'ala, dengan mendapatkan keturunan yang thoyyib.
Banyak sekali macam-macam pernikahan yang kini terjadi, terutama di Indonesia. Lalu apa pandangan syariat terhadap pernikahan-pernikahan tersebut. Dalam coretan ini akan disebutkan hal-hal tersebut.
Pernikahan antar Saudara Dekat
Pernikahan merupakan sunnatullah yang tidak selayaknya ditinggalkan oleh setiap umat Islam. Pernikahan bukan hanya sekedar ikatan, namun di dalamnya terdapat hak-hak yang akan dipertanggung jawabkan nantinya dihadapan Allah. Maka dari itu banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum menuju ke jenjang pernikahan, diantaranya adalah, selektif dalam memilih pasangan. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menganjurkan untuk memilih pasangan bukan dari kerabat dekat. Sedangkan batasan saudara terdekat yang boleh dinikahi adalah anak paman atau bibi, baik dari pihak ayah atau ibu.
Memang, dalam kacamata warga Negara Indonesia pernikahan dengan saudara dekat itu dianggap tabu, apalagi bagi siapa yang kuat memegang adat jawa. Namun dalam syariat Islam pernikahan dengan saudara dekat ini tidak dilarang, namun disunahkan untuk memilih pasangan dari kerabat jauh. Mengapa demikian?! Tentunya karena adanya hikmah di balik semua itu, diantaranya:
1.Pada dasarnya, perikahan itu disyariatkan dengan tujuan untuk merekatkan ukhuwah, dan memperbanyak ikatan persaudaraan antar sesama, karena pernikahan itu secara otomatis akan mengikatkan tali kekeluargaan antara keluarga calon pengantin putra dan putri, dan tentunya setiap keduanya pasti memiliki sanak saudara, dan jika pernikahan itu terjalin maka bertambahlah jumlah anggota keluarga dan sanak saudara. Firman Allah Subhana Wata'ala dalam surat Al hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. "
Secara rasio, Kerabat dekat itu sudah ada ikatanya, maka untuk apa mengikatnya lagi?! maka lewat ayat ini kita memperbanyak ikatan ukhuwah dan persaudaraan dengan yang lainnya, agar tercipta umat yang satu.
2.Pernikahan dengan saudara dekat itu memberikan efek negatif dalam sisi biologis, dan kesehatan. Seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya, hal tersebut akan melemahkan syahwat, dan menjadikan anak tumbuh dengan badan yang kurus.
Disisi lain, pernikahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan Sayyidah Zaenab, yang mana beliau adalah putri dari bibinya Nabi sendiri (atau sepupu Nabi). Hal ini terjadi sebagi penjelasan kepada umat Islam bahwa menikahi anak bibi atau paman adalah boleh dan tidak dilarang, karena sepupu tidak termasuk dalam catatan mahram.
Pernikahan di bawah umur
Pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini, dalam syariat Islam bukan hal yang dilarang, karena tidak ada persyaratan baligh dalam pernikahan. Kecuali bagi seorang janda yang belum baligh, maka wali janda tersebut tidak boleh menikahkannya kecuali jika telah baligh, karena keharusan adanya izin dari si janda tersebut, jika akan menikah. Hanya dalam undang-undang pernikahan di Indonesia lah yang memberikan batas awal diperbolehkannya menikah, yaitu: laki-laki 19 th dan perempuan 16 th. Tentu saja, hal ini dilakukan untuk meminimalis angka perceraian di Indonesia.
Pernikahan dini itu sulit, apalagi jika kedua mempelai belum memiliki persiapan mental yang matang. Namun, ketika ada mashlahah bagi kedua belah pihak dari pernikahan dini tersebut, maka pernikahan ini sangat dianjurkan, seperti: adanya kerusakan moral, maraknya pergaulan bebas, tidak adanya seseorang yang menjaga wanita tersebut, dsb. Tapi, dengan catatan orang tua harus terus mengawasi dan membimbing kedua mempelai agar pernikahannya tetap utuh dan terjaga.
Memang, ketika melihat hak dan tanggung jawab yang dipikul dalam sebuah pernikahan, maka alangkah baiknya jika menikah dalam usia yang matang, dengan persiapan yang matang, dan memiliki mental yang kuat, agar mampu menghadapi badai kehidupan yang nantinya akan tercipta keluarga yang baik, abadi, sakinah, mawadah wa rahmah.
Dari uraian di atas, pernikahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu 'Anha bukanlah hal yang perlu diperdebatkan, meskipun sedikit tabu jika seseorang yang berusia tua menikah dengan seseorang yang masih belia. Syubhat dan tuduhan yang dilemparkan dari musuh-musuh Islam adalah hal yang tidak mendasar sama sekali, dan jawaban dari syubhat tersebut adalah:
Menikahkan seorang wanita dalam usia dini merupakan adat dan kebiasaan orang arab Quraisy, dan pada saat itu Aisyah yang masih kecil sebelumnya telah dilamar oleh seorang kafir Quraisy, Mut'am bin Adiy. Karena buruk perilaku orang tersebut Abu Bakar, sebagai wali Aisyah, lebih memilih Rasulullah saw yang berperangai sangat mulia. Kalaulah Aisyah Radhiyallahu 'Anha tidak menikah dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam saat itu, pastinya beliau dinikahkan dengan orang lain di usia yang dini pula.
Pernikahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah Subhana wata'ala, yang di dalamnya terdapat amru nubuwwah, dan bukan atas kehendak dan kemauan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sendiri, disebutkan dalam sebuah riwayat:
أنه صلى الله عليه وسلم قال لعائشة : ' أريتك في المنام مرتين ،
رأيت الملك يحملك في سرقة من حرير ، فقال : هذه زوجتك ، فأكشف ،
فإذا هي
أنت ، فقلت : إن يكن هذا من عند الله يمضه
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha: aku telah memimpikanmu dua kali, aku melihat malaikat membawa tandu yg tertutup sutra, dan malaikat pun berkata: ini istrimu wahai Rasulullah, kemudian aku buka, dan itu kamu wahai Aisyah, dan Asiyah pun berkata, kalaulah itu dari Allah maka aku Ridho."
Allah Subhana Wata'ala telah mengirim Aisyah ra sebagai pendamping Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan harapan bahwa, nantinya ada seseorang yang akan menggambarkan kepada umat tentang bagaiman kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di dalam rumah. Tentunya, karena disetiap gerak-gerik beliau adalah wahyu, dan setiap hembusan nafas beliau adalah uswah dan suri tauladan untuk seluruh umat manusia.
Pernikahan Tanpa Wali
Menurut madzhab Syafi'i, keberadaan wali saat ijab qobul merupakan rukun dari sahnya sebuah pernikahan, jadi tanpa wali, penikahan itu tidak akan sah. Dalam artian lain, seorang wanita tidak boleh dan tidak sah menikahkan dirinya sendiri. Maksud dari wali di sini adalah wali untuk pengantin perempuan. Sedangkan wali tersebut adalah sebagai berikut:
1.Ayah
2.Kakek
3.Saudara kandung laki-laki
4.Saudara seayah
5.Anak laki-laki dari saudara sekandung
6.Anak laki-laki dari saudara seayah
7.Paman kandung
8.Paman seayah
9.Anak laki-laki dari paman kandung
10.Anak laki-laki dari paman seayah
11.Hakim atau penghulu
Hak wali di atas dalam menikahkan seorang wanita harus sesuai dengan urutan yang tertera, jika ada yang pertama tidak boleh masuk yang kedua, begitu juga seterusnya.
Saat ini banyak ditemukan bahwa seorang wanita menikah tanpa ada persetujuan dari walinya, karena dia telah memiliki calon yang sekufu atau sederajat. Dalam masalah ini, pernikahan wanita tersebut tanpa izin dari wali atau bahkan tidak ada wali ketika ijab qobul, maka pernikahan tersebut adalah batal. Sedangkan calonnya yang kufu', sebenarnya cukup membuat seorang wali wajib menikahkannya dengan pilihannya tersebut, kecuali jika sang wali memiliki calon lain yang kufu' juga atau lebih kufu', maka boleh sang wali menolak pernikahan tersebut, dan memaksa wanita tersebut untuk menikah dengan pilihan walinya, karena wali memiliki hak dalam hal tersebut. Namun, alangkah baiknya jika sang wali bermusyawarah dengan wanita tersebut dengan baik, dan sama-sama melihat kemaslahatan dalam sebuah pernikahan, agar tidak muncul kekecewaan di kemudian hari.
Nikah Paksa
Nikah paksa yang sering terjadi, menurut pandangan Islam itu boleh, namun harus memenuhi syarat-syaratnya, diantaranya:
-Wali wanita tersebut adalah ayahnya atau kakeknya (bukan yang lainnya)
-Harus dengan orang yang sekufu (sederajat)
-Calon suami harus mampu memberikan mahar yang sesuai
-Tidak ada permusuhan yang terlihat antara kedua mempelai, dan juga wali mereka
Namun, demi kemaslahatan bersama, maka alangkah baiknya jika adanya keterbukaan, dan komunikasi dengan semuanya, karena ketika awal dari pernikahannya saja kurang baik, maka bagaimana seterusnya. Bahkan untuk mempersempit lubang perceraian diantara keduanya.
Nikah Sirri
Nikah sirri, menurut Imam Syafi'i adalah penikahan tanpa dihadiri wali atau dua saksi, dan tentunya menurut definisi ini, nikah tersebut tidak sah dan batal.
Namun, pernikahan sirri yang sering terjadi di Indonesia adalah pernikahan syar'i, yang telah memenuhi syarat dan rukunnya namun tidak tercatat dalam buku sipil atau KUA. Dalam masalah ini, menurut pandangan syariat nikah ini adalah sah, akan tetapi demi melihat kepada kemaslahatan dalam berwarga Negara maka seharusnya pernikahan tersebut dicatat dalam buku sipil, untuk menjaga wanita dari tindakan-tindakan kriminal yang mungking terjadi, dan juga untuk membela hak-hak wanita tersebut.
Nikah Mut'ah (Kawin Kontrak)
Nikah Mut'ah atau biasa disebut dengan nikah kontrak, adalah pernikahan dalam masa dan jangka waktu tertentu, dan berakhir dengan berakhirnya masa yang telah disepakati ketika akad nikah, dengan tujuan tertentu.
Pernikahan ini berbeda jauh dengan yang diperbolehkan saat ini, banyak hak-hak dan kewajiban yang seharusnya dipenuhi, menjadi terhapus. Seperti ketidak adanya kewajiban nafaqah, tidak ada penetapan nasab bagi anaknya, dan juga tidak menjadikan istri dan anak keturunannya nanti sebagai ahli waris, kecuali, jika disebutkan dalam syarat pernikahan tersebut, sedangkan kemahraman mushoharoh (keluarga besan) itu tetap adanya.
Sejarah Nikah Mut'ah
Pada awalnya nikah mut'ah itu dilarang, namun pada saat perang khoibar terjadi, dan pada saat itu para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam harus pergi ke medan perang, dan tidak ada istri-istri mereka yang akan melayani mereka selama di medan perang, kemudian para sahabat mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang hal tersebut, dan meminta untuk memotong syahwat mereka, kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang hal tersebut dan membolehkan nikah mut'ah, karena adanya syiddatul hajah.Namun, pada tahun itu juga pernikahan ini diharamkan kembali. Seperti yang disebutkan dalam hadist nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن المتعة عام خيبر
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang nikah mut'ah pada tahun Khoibar" (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian pada saat Fathul Makkah, pernikahan mut'ah ini dibolehkan kembali, selama 3 hari saja, dan kemudian diharamkan kembali. Namun, pengharaman yang kedua ini tidak banyak diketahui oleh para sahabat, dan pada saat haji wada' Rasulullah saw mengumumkan kepada seluruh umat Islam bahwa nikah mut'ah itu haram sampai hari kiamat. Dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
كنت أذنت لكم في الاستمتاع من النساء ، وقد حرم الله ذلك إلى يوم القيامة
"Saya telah mengizinkan bagimu nikah mut'ah, dan Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hukum Nikah Mut'ah
Madzahib arba'ah sepakat bahwa nikah mut'ah merupakan nikah yang fasad atau rusak dan haram hukumnya, meskipun ada ridho dan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dan terjadinya perbedaan pendapat antara ahlu sunnah dan syi'ah tentang pengharaman nikah ini adalah karena adanya rukhshoh, diperbolehkannya nikah ini dalam beberapa waktu yang kemudian hukum tersebut dinashk (dihapus) dengan diharamkannya nikah tersebut. Kaum Syiah berpendapat bahwa tidak ada nashk (penghapusan) hukum di sana (padahal telah terjadi beberapa kali pe-nashk-an hukum tersebut), jadi nikah mutah ini tetap boleh dalam pandangan kaum Syiah.
Hikmah Diperbolehkannya Pernikahan Mut'ah pada Perang Khaibar
1.Saddu-d daro'i (menghindari kerusakan)
Memotong syahwat yang pernah sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam minta ketika perang Khoibar mengakibatkan terputusnya regenerasi islami. Padahal generasi penerus itu sangatlah penting sebagai benteng penerus agama Islam.
2.Menghindari zina
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan mut'ah pada saat perang Khaibar tidak lain agar para sahabat yang ikut berperang pada saat itu, tidak mendekat atau bahkan masuk dalam lingkaran zina, karena tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya. Maka dari itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membolehkan nikah mut'ah, tentunya karena adanya besar maslahah di dalamnya.
Hikmah Dilarangnya Pernikahan Mut'ah
Pernikahan kontrak sebenarnya merupakan bentuk pendzoliman terhadap kaum wanita khususnya, bagaimana tidaK?! Karena dalam pernikahan tersebut wanita hanya dijadikan alat pemuas hawa nafsu saja, sedangkan hak-hak yg seharusnya didapatkan wanita dalam pernikahan tersebut tidak didapatkannya (seperti nafaqoh, penetapan nasab, hak waris, dsb). Bahkan, bisa jadi pernikahan ini malah menyakitkan perasaan seorang wanita yang begitu lembut. Padahal pernikahan itu berdiri bukan hanya dari dan untuk kemaslahatan salah satu dari mempelai, tapi untuk keduanya, atau bahkan untuk seluruh keluarganya.
Disisi lain, tujuan pernikahan yang seharusnya 'ala dawam atau untuk selamanya, tidak tercapai, bahkan pernikahan hanya dijadikan ajang permainan saja. Lihat, Apa jadinya jika pernikahan itu hanya untuk main-main saja?! Dan jika ini terjadi bisa jadi hilang qimah (harga) dari sebuah pernikahan, bahkan pernikahan bukan hal yang sakral lagi.
Penutup
Pernikahan yang Allah syariatkan untuk umat manusia merupakan hal besar, yang menyimpan hikmah besar di dalamnya, hanya terkadang hal tersebut kurang dimengerti oleh banyak orang, sehingga menganggap remeh sebuah pernikahan.
Wallahu a'lam bissowab, semoga bermanfaat!
Sumber : http://www.himmahfm.com
0 komentar:
Posting Komentar